Teater pada masa kesusasteraan angkatan Pujangga Baru kurang berarti kalau dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia, tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusasteraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama alasannya yakni masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual di masa itu alasannya yakni penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali memakai bahasa Indonesia dan disusun dengan model obrolan antar tokoh dan berbentuk sajak yakni Bebasari (artinya kebebasan yang bekerjsama atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926).
Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pencetus semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan usaha tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya(1932) dan Sandyakalaning Majapahit(1933) Muhammad Yaminmenulis Ken Arok dan Ken Dedes(1934). Armijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulukarangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil.Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu.
|
Rustam Efendi |
Lakon-lakon ini ditulis menurut tema kebangsaan, persoalan, dan harapan, serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini yakni cendekiawan Indonesia, menulis dengan memakai bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.